Magelang saat ini terdiri dari dua nama pemerintahan
daerah yaitu Pemerintahan Daerah Kota Magelang dan Pemerintahan Daerah Kabupaten
Magelang. Mengenai sejarah keduanya
memang tidak dapat dipisahkan begitu saja satu dengan yang lainnya. Karena
memang dulunya Kota Magelang adalah
ibukota Kabupaten Magelang sebelum mendapat kebijakan untuk mengurus rumah
tangga sendiri sebagai sebuah kota baru.
Akhirnya ada beberapa alternative mengenai Ibukota Kabupaten Magelang yang dipersiapkan yaitu, Kecamatan Mungkid, Kecamatan Mertoyudan dan Kecamatan Muntilan. Selanjutnya berdasarkan PP Nomor 21 Tahun 1982 Desa Sawitan Mungkid terpilih menjadi Ibukota Kabupaten Magelang dengan nama Kota Mungkid yang diresmikan pada tanggal 22 Maret 1982 oleh Gubernur Jawa Tengah, dan momentum inilah yang dipakai menjadi hari jadi Kota Mungkid sebagai Ibukota Kabupaten Magelang.
Perlu kita ketahui bahwa Kota Magelang merupakan kota tertua urutan kedua di Indonesia setelah Kota Palembang, dan merupakan kota tertua urutan pertama di Pulau Jawa. Selain itu juga Kota Magelang mempunyai gunung ( bukit ) yang bernama Gunung Tidar tepat ditengah-tengah pusat kota dan merupakan sebuah paru-paru bagi Kota Magelang. Gunung Tidar yang dikenal oleh masyarakat luas sebagai “Pakuning Tanah Jawa” yang kebetulan memang letaknya tepat di tengah-tengah Pulau Jawa tersebut diabadikan dalam lambang Kota Magelang dengan wujud PAKU sampai sekarang.
Terdapat beberapa versi yang menjelaskan asal nama
Magelang, salah satunya berasal dari nama “MAHA GELANG” yang bisa diartikan
sebagai gelang raksasa. Secara geografis, istilah ini ada benarnya, karena
daerah Magelang memang berada disebuah lembah yang dikelilingi deretan gunung
dan perbukitan, sebuah lingkaran pegunungan yang menyerupai gelang raksasa.
Disebelah tenggara terdapat Gunung Merapi dengan
ketinggian sekitar 3000 M diatas permukaan laut, disebelah timur berdiri Gunung
Merbabu dengan ketinggian 3200 M diatas permukaan laut. Disebelah utara
terdapat barisan Gunung Telomoyo, Gunung Andong dan Gunung Sumowono yang tinggi masing-masing
sekitar 1500 M, lalu disebelah barat terdapat Gunung Sumbing dengan ketinggian
3100 M diatas permukaan laut. Serta di sebelah selatan berdiri barisan
Pegunungan Menoreh yang menjadi batas Magelang dengan Daerah Istimewa
Yogyakarta.
Ada yang berpendapat bahwa nama Magelang berasal dari
kisah orang-orang Keling atau Kalingga
yang datang ke Jawa mengenakan gelang di hidungnya. Jadi asal nama Magelang diambil dari kata
“MA” (memakai) dan “GELANG” (sebuah gelang) yang kemudian dapat diartikan “MEMAKAI GELANG”. Menyimpulkan bahwa Magelang
dahulu kala adalah daerah yang didatangi orang-orang Kalingga yang mengenakan
gelang.
Versi terpopuler mengatakan bahwa Magelang berasal dari
kata “TEPUNG GELANG”, yang berarti “mengepung rapat seperti gelang”. Istilah tersebut diberikan untuk mengenang
Raja Jin Sonta yang dikepung di daerah ini oleh pasukan Mataram sampai akhirnya
mati di tangan Pangeran Purbaya.
Magelang mengawali sejarahnya sebagai desa perdikan Mantyasih yang saat ini dikenal dengan
Kampung Meteseh di kelurahan Magelang. Mantyasih sendiri memiliki arti beriman
dalam cinta kasih. Di kampung Meteseh terdapat sebuah lumpang batu yang
diyakini sebagai upacara penetapan Sima atau Perdikan. Sehingga untuk menelusuri kembali sejarah Magelang bersumber dari Prasasti POH, Prasasti Gilikan dan Prasasti
Mantyasih, ketiganya ditulis dalam lempengan tembaga.
Prasasti POH dan Prasasti Mantyasih ditulis pada zaman
Mataram Hindu saat pemerintahan Raja Rake Watukura Dyah Balitung (898 – 910 M),
dalam prasasti ini disebut adanya Desa Mantyasih dan Desa Glanglang. Nama Mantyasih inilah yang berubah menjadi
Meteseh sedang Glanglang berubah menjadi Magelang.
Dalam Prasasti Mantyasih berisi tentang penyebutan nama
Raja Rake Watukura Dyah Balitung, serta penyebutan angka 829 Caka bulan
Caitrata tanggal 11 Paro-Gelap Paringkelan Tungle, Pasaran Umanis hari Senais
Scara atau Sabtu, dengan kata lain Hari Sabtu Legi Tanggal 11 April 907 Masehi.
Prasasti ini menyebutkan pula bahwa Desa Mantyasih
ditetapkan sebagai Desa Perdikan atau daerah bebas pajak yang dipimpin seorang
pejabat patih oleh Sri Maharaja Rake
Watukura Dyah Balitung. Prasasti ini juga menyebut Gunung SUSUNDARA dan WUKIR
SUMBING yang kini dikenal dengan nama Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing.
Daerah Perdikan ini dahulu terdapat juga tempat yang bernama Kebondalem atau kebun
milik raja, yaitu Sri Sunan Pakubuwono dari Surakarta. Tanah yang membujur
keselatan dari kampung Potrobangsan
sampai kampung Bayeman sekarang , dulunya merupakan perkebunan kopi,
rempah-rempah, buah-buahan serta sayur-sayuran termasuk bayam atau “bayem”
dalam bahasa jawa.
Sisa-sisa dari perkebunanan itu masih dapat dilihat dari
nama-nama tempat di Kota Magelang bekas Ibukota Kabupaten Magelang tersebut,
antara lain adalah
-
Kemirikerep atau Kemirirejo asal nama bekas
perkebunan kemiri
-
Jambon karena bekas perkebunan pohon jambu
-
Kebonpolo bekas perkebunan pala
-
Bayeman bekas perkebunan bayam
-
Jambesari bekas perkebunan pohon pinang atau
jambe
-
Pucangsari bekas kebun yang indah dan asri
dengan bermacam tumbuhan
-
Karet bekas perkebunan karet dan masih banyak
lainnya
Ketika Inggris menguasai Magelang pada abad ke 18,
sekitar tahun 1812 Letnan Gubernur Sir Thomas Stamford Raffles mengangkat
Ngabei Danuningrat (Mas Ngabehi Danukromo) sebagai Bupati pertama di Kabupaten Magelang
dengan gelar Adipati Danuningrat I. Penunjukan ini terjadi sebagai konsekuensi
perjanjian antara Inggris dan Kesultanan Yogyakarta pada tanggal 1 Agustus 1812
yang menyerahkan wilayah Kedu kepada Pemerintahan Inggris. Atas petunjuk dari
Gurunya beliau memilih daerah antara Desa Mantyasih dan Desa Gelangan sebagai
pusat pemerintahan. Bupati inilah yang kemudian merintis berdirinya Kota
Magelang sebagai ibukota Kabupaten Magelang dengan membangun Alun-alun, bangunan
tempat tinggal Bupati serta sebuah masjid dan gereja GPIB. Dalam perkembangan
selanjutnya dipilihlah Magelang sebagai Ibukota Karesidenan Kedu pada tahun
1818.
Selanjutnya
setelah Kabupaten Magelang beralih dikuasai Belanda, Ngabei Danuningrat
(Mas Ngabei Danukromo) diangkat lagi menjadi Bupati (Regent) oleh Belanda, dan
masih menggunakan gelarnya yang diberikan oleh Inggris ketika itu. Beliau Wafat
pada tanggal 28 September 1825 ketika memihak Belanda berperang melawan
pasukan Diponegoro.
Pada tahun 1930, jabatan bupati diserahkan dari dinasti
Danuningrat kepada kepada pejabat baru yang bernama Ngabei Danukusumo. Ditangan
Belanda kedudukan Magelang menjadi semakin kuat. Magelang dijadikan pusat lalu lintas perekonomian
karena letaknya yang setrategis, udaranya yang nyaman serta pemandangannya yang
indah. Belanda menjadikan pula Magelang sebagai Kota Militer, dengan melengkapi
sarana dan prasarana sebuah perkotaan.
Menara air dibangun ditengah-tengah kota pada tahun 1918, perusahaan
listrik beroprasi pada tahun 1927 serta jalan-jalan arteri diperkeras dan
diaspal.
Sementara itu sebagai tindak lanjut dari Keputusan
Desentralisasi (Decentralisatie Besluit) tahun 1905, Kota Magelang menjadi
gemeente bersama Kota Semarang, Salatiga dan Pekalongan. Jabatan walikota baru
diangkat pada tahun 1924, meskipun demikian kedudukan Bupati masih tetap berada
di kota Magelang. Akibatnya ada sejumlah pimpinan daerah di kota Magelang yaitu
Bupati Magelang, Residen Kedu, Asisten Residen dan Walikota Magelang.
Setelah masa kemerdekaan, berdasarkan UU Nomer 22 Tahun
1948 Kota Magelang tetap berstatus sebagai Ibukota Kabupaten Magelang. Akan
tetapi berdasar UU Nomer 13 Tahun 1950 Kota Magelang merupakan daerah yang
berdiri sendiri dan mempunyai hak untuk mengatur rumah tangganya sendiri.
Sehingga dalam perkembangannya Kota Magelang terdapat 4
Badan Pemerintahan yang memiliki fungsi yang berbeda, yaitu :
-
Pemerintahan Kotamadya Magelang ( sekarang Kota
Magelang )
-
Pemerintahan Kabupaten Magelang ( sekarang
Kabupaten Magelang )
-
Kantor Karisidenan Kedu ( sekarang Badan
Koordinasi Wilayah II )
-
Akademi Militer Nasional ( sekarang Akademi
Militer )
Keempat instansi tersebut
mempunyai skala pelayaan yang luas dan membutuhkan fasilitas dan sarana
guna menunjang fungsinya masing-masing.
Seiring dengan waktu persoalan tata ruang Kabupaten
Magelang menjadi masalah utama dalam perkembangannya ,
sehingga ada kebijaksanaan untuk memindahkan Ibukota Kabupaten Magelang ke
daerah lain. Selain itu dasar pertimbangan lainnya adalah mengenai perpindahan
Ibukota Kabupaten Magelang lebih berorientasi
pada setrategi pengembangan wilayah yang mampu menjadi stimulator bagi
pertumbuhan dan perkembangan wilayah itu sendiri.
Akhirnya ada beberapa alternative mengenai Ibukota Kabupaten Magelang yang dipersiapkan yaitu, Kecamatan Mungkid, Kecamatan Mertoyudan dan Kecamatan Muntilan. Selanjutnya berdasarkan PP Nomor 21 Tahun 1982 Desa Sawitan Mungkid terpilih menjadi Ibukota Kabupaten Magelang dengan nama Kota Mungkid yang diresmikan pada tanggal 22 Maret 1982 oleh Gubernur Jawa Tengah, dan momentum inilah yang dipakai menjadi hari jadi Kota Mungkid sebagai Ibukota Kabupaten Magelang.
Sementara itu untuk menindak-lanjuti kedudukan Kota
Magelang sebagai kota yang berdiri sendiri dan mempunyai hak untuk mengatur
rumah tangganya sendiri ialah dengan
ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah Kota Magelang Nomor 6 Tahun 1989, bahwa
tanggal 11 april 907 Masehi merupakan hari jadi Kota Magelang. Penetapan ini
merupakan tindak lanjut dari seminar dan diskusi yang dilaksanakan oleh Panitia
Peneliti Hari Jadi Kota Magelang, bekerjasama dengan Universitas Tidar Magelang
dengan dibantu pakar sejarah dan arkeologi Universitas Gajah Mada, Drs.MM.
Soekarto Kartoatmodjo, dan dilengkapi berbagai penelitian di museum Radya
Pustaka Surakarta.
Perlu kita ketahui bahwa Kota Magelang merupakan kota tertua urutan kedua di Indonesia setelah Kota Palembang, dan merupakan kota tertua urutan pertama di Pulau Jawa. Selain itu juga Kota Magelang mempunyai gunung ( bukit ) yang bernama Gunung Tidar tepat ditengah-tengah pusat kota dan merupakan sebuah paru-paru bagi Kota Magelang. Gunung Tidar yang dikenal oleh masyarakat luas sebagai “Pakuning Tanah Jawa” yang kebetulan memang letaknya tepat di tengah-tengah Pulau Jawa tersebut diabadikan dalam lambang Kota Magelang dengan wujud PAKU sampai sekarang.