SEJARAH PERKEMBANGAN MAGELANG

Magelang saat ini terdiri dari dua nama pemerintahan daerah yaitu Pemerintahan Daerah Kota Magelang dan Pemerintahan Daerah Kabupaten Magelang.  Mengenai sejarah keduanya memang tidak dapat dipisahkan begitu saja satu dengan yang lainnya. Karena memang dulunya Kota Magelang  adalah ibukota Kabupaten Magelang sebelum mendapat kebijakan untuk mengurus rumah tangga sendiri  sebagai sebuah kota baru.

Terdapat beberapa versi yang menjelaskan asal nama Magelang, salah satunya berasal dari nama “MAHA GELANG” yang bisa diartikan sebagai gelang raksasa. Secara geografis, istilah ini ada benarnya, karena daerah Magelang memang berada disebuah lembah yang dikelilingi deretan gunung dan perbukitan, sebuah lingkaran pegunungan yang menyerupai gelang raksasa. 
Disebelah tenggara terdapat Gunung Merapi dengan ketinggian sekitar 3000 M diatas permukaan laut, disebelah timur berdiri Gunung Merbabu dengan ketinggian 3200 M diatas permukaan laut. Disebelah utara terdapat barisan Gunung Telomoyo, Gunung Andong  dan Gunung Sumowono yang tinggi masing-masing sekitar 1500 M, lalu disebelah barat terdapat Gunung Sumbing dengan ketinggian 3100 M diatas permukaan laut. Serta di sebelah selatan berdiri barisan Pegunungan Menoreh yang menjadi batas Magelang dengan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Ada yang berpendapat bahwa nama Magelang berasal dari kisah orang-orang  Keling atau Kalingga yang datang ke Jawa mengenakan gelang di hidungnya.  Jadi asal nama Magelang diambil dari kata “MA” (memakai) dan “GELANG” (sebuah gelang) yang kemudian dapat diartikan  “MEMAKAI GELANG”. Menyimpulkan bahwa Magelang dahulu kala adalah daerah yang didatangi orang-orang Kalingga yang mengenakan gelang.
Versi terpopuler mengatakan bahwa Magelang berasal dari kata “TEPUNG GELANG”, yang berarti “mengepung rapat seperti gelang”.  Istilah tersebut diberikan untuk mengenang Raja Jin Sonta yang dikepung di daerah ini oleh pasukan Mataram sampai akhirnya mati di tangan Pangeran Purbaya.

Magelang mengawali sejarahnya sebagai desa perdikan  Mantyasih yang saat ini dikenal dengan Kampung Meteseh di kelurahan Magelang. Mantyasih sendiri memiliki arti beriman dalam cinta kasih. Di kampung Meteseh terdapat sebuah lumpang batu yang diyakini sebagai upacara penetapan Sima atau Perdikan.  Sehingga untuk menelusuri kembali  sejarah Magelang bersumber dari  Prasasti POH, Prasasti Gilikan dan Prasasti Mantyasih, ketiganya ditulis dalam lempengan tembaga.
Prasasti POH dan Prasasti Mantyasih ditulis pada zaman Mataram Hindu saat pemerintahan Raja Rake Watukura Dyah Balitung (898 – 910 M), dalam prasasti ini disebut adanya Desa Mantyasih dan Desa Glanglang.  Nama Mantyasih inilah yang berubah menjadi Meteseh sedang Glanglang berubah menjadi Magelang.

Dalam Prasasti Mantyasih berisi tentang penyebutan nama Raja Rake Watukura Dyah Balitung, serta penyebutan angka 829 Caka bulan Caitrata tanggal 11 Paro-Gelap Paringkelan Tungle, Pasaran Umanis hari Senais Scara atau Sabtu, dengan kata lain Hari Sabtu Legi Tanggal 11 April 907 Masehi.
Prasasti ini menyebutkan pula bahwa Desa Mantyasih ditetapkan sebagai Desa Perdikan atau daerah bebas pajak yang dipimpin seorang pejabat patih  oleh Sri Maharaja Rake Watukura Dyah Balitung. Prasasti ini juga menyebut Gunung SUSUNDARA dan WUKIR SUMBING yang kini dikenal dengan nama Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing.

Daerah Perdikan ini dahulu terdapat juga tempat yang bernama Kebondalem atau kebun milik raja, yaitu Sri Sunan Pakubuwono dari Surakarta. Tanah yang membujur keselatan dari  kampung Potrobangsan sampai kampung Bayeman sekarang , dulunya merupakan perkebunan kopi, rempah-rempah, buah-buahan serta sayur-sayuran termasuk bayam atau “bayem” dalam bahasa jawa.
Sisa-sisa dari perkebunanan itu masih dapat dilihat dari nama-nama tempat di Kota Magelang bekas Ibukota Kabupaten Magelang tersebut, antara lain adalah

-          Kemirikerep atau Kemirirejo asal nama bekas perkebunan kemiri
-          Jambon karena bekas perkebunan pohon jambu
-          Kebonpolo bekas perkebunan pala
-          Bayeman bekas perkebunan bayam
-          Jambesari bekas perkebunan pohon pinang atau jambe
-          Pucangsari bekas kebun yang indah dan asri dengan bermacam tumbuhan
-          Karet bekas perkebunan karet dan masih banyak lainnya

Ketika Inggris menguasai Magelang pada abad ke 18, sekitar tahun 1812 Letnan Gubernur Sir Thomas Stamford Raffles mengangkat Ngabei Danuningrat (Mas Ngabehi Danukromo) sebagai Bupati pertama di Kabupaten Magelang dengan gelar Adipati Danuningrat I. Penunjukan ini terjadi sebagai konsekuensi perjanjian antara Inggris dan Kesultanan Yogyakarta pada tanggal 1 Agustus 1812 yang menyerahkan wilayah Kedu kepada Pemerintahan Inggris. Atas petunjuk dari Gurunya beliau memilih daerah antara Desa Mantyasih dan Desa Gelangan sebagai pusat pemerintahan. Bupati inilah yang kemudian merintis berdirinya Kota Magelang sebagai ibukota Kabupaten Magelang dengan membangun Alun-alun, bangunan tempat tinggal Bupati serta sebuah masjid dan gereja GPIB. Dalam perkembangan selanjutnya dipilihlah Magelang sebagai Ibukota Karesidenan Kedu pada tahun 1818.

Selanjutnya  setelah Kabupaten Magelang beralih dikuasai Belanda, Ngabei Danuningrat (Mas Ngabei Danukromo) diangkat lagi menjadi Bupati (Regent) oleh Belanda, dan masih menggunakan gelarnya yang diberikan oleh Inggris ketika itu. Beliau Wafat pada tanggal 28 September 1825 ketika memihak Belanda berperang melawan pasukan Diponegoro.
Pada tahun 1930, jabatan bupati diserahkan dari dinasti Danuningrat kepada kepada pejabat baru yang bernama Ngabei Danukusumo. Ditangan Belanda kedudukan Magelang menjadi semakin kuat. Magelang  dijadikan pusat lalu lintas perekonomian karena letaknya yang setrategis, udaranya yang nyaman serta pemandangannya yang indah. Belanda menjadikan pula Magelang sebagai Kota Militer, dengan melengkapi sarana dan prasarana sebuah perkotaan.  Menara air dibangun ditengah-tengah kota pada tahun 1918, perusahaan listrik beroprasi pada tahun 1927 serta jalan-jalan arteri diperkeras dan diaspal.

Sementara itu sebagai tindak lanjut dari Keputusan Desentralisasi (Decentralisatie Besluit) tahun 1905, Kota Magelang menjadi gemeente bersama Kota Semarang, Salatiga dan Pekalongan. Jabatan walikota baru diangkat pada tahun 1924, meskipun demikian kedudukan Bupati masih tetap berada di kota Magelang. Akibatnya ada sejumlah pimpinan daerah di kota Magelang yaitu Bupati Magelang, Residen Kedu, Asisten Residen dan Walikota Magelang.
Setelah masa kemerdekaan, berdasarkan UU Nomer 22 Tahun 1948 Kota Magelang tetap berstatus sebagai Ibukota Kabupaten Magelang. Akan tetapi berdasar UU Nomer 13 Tahun 1950 Kota Magelang merupakan daerah yang berdiri sendiri dan mempunyai hak untuk mengatur  rumah tangganya sendiri.
Sehingga dalam perkembangannya Kota Magelang terdapat 4 Badan Pemerintahan yang memiliki fungsi yang berbeda, yaitu :

-          Pemerintahan Kotamadya Magelang ( sekarang Kota Magelang )
-          Pemerintahan Kabupaten Magelang ( sekarang Kabupaten Magelang )
-          Kantor Karisidenan Kedu ( sekarang Badan Koordinasi Wilayah II )
-          Akademi Militer Nasional ( sekarang Akademi Militer )

Keempat instansi tersebut  mempunyai skala pelayaan yang luas dan membutuhkan fasilitas dan sarana guna menunjang fungsinya masing-masing.

Seiring dengan waktu persoalan tata ruang Kabupaten Magelang  menjadi  masalah utama dalam perkembangannya , sehingga ada kebijaksanaan untuk memindahkan Ibukota Kabupaten Magelang ke daerah lain. Selain itu dasar pertimbangan lainnya adalah mengenai perpindahan Ibukota Kabupaten Magelang lebih berorientasi  pada setrategi pengembangan wilayah yang mampu menjadi stimulator bagi pertumbuhan dan perkembangan wilayah itu sendiri.

Akhirnya ada beberapa alternative mengenai Ibukota Kabupaten Magelang yang dipersiapkan yaitu, Kecamatan Mungkid, Kecamatan Mertoyudan dan Kecamatan Muntilan. Selanjutnya berdasarkan PP Nomor 21 Tahun 1982 Desa Sawitan Mungkid terpilih menjadi Ibukota Kabupaten Magelang  dengan nama Kota Mungkid yang diresmikan pada tanggal 22 Maret 1982 oleh Gubernur Jawa Tengah, dan momentum inilah yang dipakai menjadi hari jadi Kota Mungkid sebagai Ibukota Kabupaten Magelang.

Sementara itu untuk menindak-lanjuti kedudukan Kota Magelang sebagai kota yang berdiri sendiri dan mempunyai hak untuk mengatur rumah tangganya sendiri  ialah dengan ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah Kota Magelang Nomor 6 Tahun 1989, bahwa tanggal 11 april 907 Masehi merupakan hari jadi Kota Magelang. Penetapan ini merupakan tindak lanjut dari seminar dan diskusi yang dilaksanakan oleh Panitia Peneliti Hari Jadi Kota Magelang, bekerjasama dengan Universitas Tidar Magelang dengan dibantu pakar sejarah dan arkeologi Universitas Gajah Mada, Drs.MM. Soekarto Kartoatmodjo, dan dilengkapi berbagai penelitian di museum Radya Pustaka Surakarta.

Perlu kita ketahui bahwa Kota Magelang merupakan kota tertua urutan kedua di Indonesia setelah Kota Palembang, dan merupakan kota tertua urutan pertama  di Pulau Jawa. Selain itu juga Kota Magelang mempunyai gunung ( bukit ) yang bernama Gunung Tidar tepat ditengah-tengah pusat kota dan merupakan  sebuah paru-paru  bagi  Kota Magelang.  Gunung Tidar yang dikenal oleh masyarakat luas sebagai “Pakuning Tanah Jawa” yang kebetulan memang letaknya tepat di tengah-tengah Pulau Jawa tersebut  diabadikan dalam lambang Kota Magelang  dengan wujud PAKU sampai sekarang.